Blog

Menebak Arah Kebijakan BI di Tahun Terakhir Jokowi

09:38 29 November in Business, Commodity, Economy, Global, Gold, Market Review, Uncategorized
0 Comments
0

PT. Equityworld Futures Manado – Pertemuan Tahunan Bank Indonesia (PTBI) akan diselenggarakan pada Rabu (29/11/2023) malam hari. Akan hadir pula Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang akan memberikan press statement setelah acara PTBI berlangsung.

Bank Indonesia (BI) setiap tahun mengadakan PTBI untuk menyampaikan pandangan mengenai kondisi perekonomian nasional, tantangan yang dihadapi dan arah kebijakan Bank Indonesia ke depan, serta arahan Presiden RI mengenai kebijakan Pemerintah ke depan.

Sebagai informasi pada PTBI 2018, BI menilai tahun 2018 merupakan tahun yang penuh tantangan yang berdampak pada pertumbuhan global yang tumbuh tidak merata serta penuh ketidakpastian.

I pada saat itu berekspektasi akan akan terjadi pelandaian pertumbuhan ekonomi dunia menjadi 3,7% pada 2019 dengan ditopang oleh pertumbuhan ekonomi AS yang diperkirakan melandai di 2019 serta ekonomi Uni Eropa dan China yang juga diperkirakan melandai.

Perkembangan tersebut mendorong volume perdagangan dan harga komoditas dunia yang tetap rendah, dan karenanya menjadi tantangan bagi upaya kita untuk menjadikan ekspor sebagai sumber pertumbuhan ekonomi nasional.

Di lain sisi, tekanan inflasi mulai tinggi khususnya di AS dan cenderung akan meningkat di Uni Eropa dan sejumlah negara lain.

Alhasil dalam menekan inflasi, negara-negara maju tersebut menaikkan suku bunganya serta memberikan tantangan bagi bank-bank sentral Emerging Markets, termasuk Indonesia, dalam merumuskan respons kebijakan moneternya untuk memperkuat ketahanan eksternal ekonominya dalam memitigasi dampak rambatan keuangan global.

Selain itu, pada 2018 pun global termasuk Indonesia dikejutkan oleh trade war yang dilancarkan Pemerintah AS terhadap Kanada, Meksiko, Uni Eropa, dan China. Pada saat itu, BI memproyeksikan ketegangan tersebut masih akan terus berlanjut pada 2019 khususnya antara AS dan China.

Tingginya ketidakpastian di pasar keuangan global juga didorong oleh sejumlah risiko geopolitik, seperti keberlanjutan perundingan Brexit antara Inggris dan Uni Eropa, serta permasalahan ekonomi di Italia.

Salah satu dampak yang terasa ke domestik yakni aliran modal asing yang turun tajam di 2018. Untuk diketahui, aliran modal asing ke Emerging Markets yang pada 2017 masuk sangat besar, yaitu US$101,16 miliar, turun tajam menjadi hanya sekitar US$6,54 miliar pada tahun 2018.

Di Indonesia sendiri, aliran modal asing yang masih pada 2017 sebesar US$24,7 miliar kemudian mendadak keluar hingga Juni 2018 dan akhirnya berangsur-angsur kembali masuk sekitar US$7,6 miliar untuk keseluruhan 2018.

Hal tersebut terjadi tak lepas dari naiknya suku bunga BI yang signifikan pada 2018. Sebagai informasi, sejak September 2017 hingga April 2018, suku bunga BI berada di angka 4,25% dan terus mengalami kenaikan 175 basis poin (bps) hingga menyentuh peak di level 6% pada November 2018.

Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS pun masih mengalami depresiasi di tengah kuatnya indeks dolar AS (DXY). Sejak akhir Desember 2017 hingga 19 November 2018, rupiah melemah 7% atau lebih rendah dibandingkan negara-negara Emerging Markets lain seperti India, Afrika Selatan, Brasil, Rusia, dan Turki.

Kebijakan stabilisasi nilai tukar rupiah sesuai nilai fundamentalnya dilakukan melalui intervensi ganda di pasar valas dan pembelian SBN dari pasar sekunder, khususnya pada waktu pembalikan ke luar modal asing. Agar langkah stabilisasi moneter ini tetap konsisten dengan stabilitas sistem keuangan, dan sekaligus untuk meningkatkan ­eksibilitas dan distribusi likuiditas di perbankan, Bank Indonesia menaikkan porsi pemenuhan GWM Rupiah Rerata (konvensional dan syariah) dari 2% menjadi 3% dari Dana Pihak Ketiga (DPK).

Hal tersebut juga didukung oleh cadangan devisa (cadev) yang cukup tinggi sebesar US$115,2 miliar pada akhir Oktober 2018.

Di tahun 2019, ekonomi global dinilai semakin tidak ramah karena perang dagang AS dan China semakin meluas, perundingan keluarnya Inggris dari Uni Eropa (Brexit) menemui jalan buntu, dan sejumlah risiko geopolitik terjadi silih berganti.

Pertumbuhan ekonomi global pada saat itu pun diproyeksikan menurun drastis di 2019 dan masih belum pulih di 2020.

Di tengah kondisi perlambatan ekonomi dunia, The Fed menurunkan suku bunganya sebanyak tiga kali sejak Juli 2019. Bank sentral Eropa (ECB) juga melonggarkan kebijakan moneternya dengan injeksi likuiditas melalui ekspansi neraca.

Sebagai informasi, sejak Juli 2019 BI telah menurunkan suku bunganya sebanyak 4 (empat) kali sebesar 100 bps menjadi 5,0%. Di samping untuk mendorong kapasitas perbankan dalam penyaluran kredit, penurunan suku bunga diharapkan dapat meningkatkan investasi dan kemudahan pembiayaannya dari korporasi.

Lebih lanjut, imbal hasil di pasar keuangan Indonesia sendiri pada akhirnya menjadi menarik. Hal ini dibuktikan dengan investor global yang masuk ke domestik melalui investasi portofolio seperti saham, obligasi, dan surat berharga lainnya.

Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS pun mengalami apresiasi di tengah ketidakpastian global. Sejak akhir Desember 2018 hingga Oktober 2019, rupiah menguat 2,44% akibat aliran modal asing yang tetap berlanjut dan bekerjanya mekanisme permintaan dan pasokan valas dari para pelaku usaha.

Sebagai catatan, kondisi rupiah ini hanya berada di bawah baht Thailand dan peso Filipina. Sedangkan jika dibandingkan dengan yen Jepang, dolar Singapura, hingga ringgit Malaysia, rupiah jauh lebih baik.

Untuk mendukung efektivitas kebijakan nilai tukar, BI terus mengakselerasi pendalaman pasar keuangan, baik pasar uang maupun pasar valas. Selain volume transaksi yang semakin meningkat, semakin berkembangnya pasar valas juga mendorong konvergensi nilai tukar Non-Deliverable Forward (NDF) luar negeri dengan nilai tukar spot dan Domestic Non-Deliverable Forward (DNDF) di dalam negeri.

Pada tahun 2020 di saat pandemik Covid-19 melanda dunia termasuk Indonesia, kondisi kesehatan hingga ekonomi dunia mengalami gangguan yang signifikan.

Di saat itu, lebih dari 60 juta terjangkit Covid-19 dan lebih dari 1,4 juta meninggal dunia akibat wabah tersebut.

Pandemi Covid-19 telah menyebabkan resesi ekonomi dunia dan di banyak negara, kepanikan dan ketidakpastian pasar keuangan, serta banyaknya penduduk jatuh dalam kemiskinan. Dan sangat luar biasa, karena kompleksitas permasalahan yang memerlukan respons kebijakan yang demikian sulit, baik dari sisi kesehatan, stimulus fiskal, stimulus moneter, dan juga sektor keuangan.

Stimulus fiskal umumnya dialokasikan untuk anggaran biaya kesehatan, program bantuan sosial kepada masyarakat, insentif kepada dunia usaha khususnya Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), serta keringanan pajak kepada korporasi. Sementara itu, penerimaan pajak menurun drastis karena kondisi ekonomi yang mengalami resesi.

Lebih lanjut, di negara maju, dengan tingkat suku bunga kebijakan moneter yang mendekati nol persen, stimulus moneter ditempuh bank-bank sentral dengan injeksi likuiditas (Quantitative Easing/QE) ke sektor keuangan, khususnya perbankan.

Di Indonesia sendiri, dampak Covid-19 memberikan kepanikan secara global khususnya di bulan Maret dan April 2020. Alhasil, investasi portofolio asing dalam jumlah besar keluar dari domestik dan tekanan pelemahan nilai tukar rupiah yang sangat tinggi. Bahkan rupiah sempat melemah hingga Rp16.575/US$ pada 23 Maret 2020.

Dengan langkah-langkah stabilisasi yang ditempuh BI dan komunikasi intensif kepada para investor dan pelaku pasar domestik dan luar negeri, nilai tukar rupiah kembali menguat signifikan mencapai Rp14.165/US$ atau terapresiasi 17,01% sejak 23 Maret 2020 hingga 20 November 2020.

Di sisi kebijakan moneter, BI menurunkan suku bunganya sebesar 125 bps menjadi 3,75%. Suku bunga kebijakan BI ini merupakan tingkat terendah sepanjang sejarah. Penurunan suku bunga BI7DRR dan pelonggaran likuiditas yang ditempuh Bank Indonesia telah diikuti penurunan suku bunga Pasar Uang Antar Bank (PUAB) sebesar 154 bps sehingga rata-rata suku bunga PUAB overnight sangat rendah, yaitu sekitar 3,27% pada November 2020.

BIFoto: Suku Bunga Perbankan
Sumber: Bank Indonesia

Berbeda halnya di tahun 2021 dan 2022 atau sekitar satu hingga dua tahun pasca pandemi Covid-19, kondisi global sudah mulai mengalami pemulihan dan semakin berkurangnya jumlah kasus positif Covid-19. Selain itu, aktivitas perekonomian juga sudah berjalan jauh lebih baik yang disebabkan karena mobilitas masyarakat yang sudah pulih.

Kendati demikian, di awal 2022 terjadi perang antara Rusia dan Ukraina yang membuat inflasi melonjak sangat tinggi di berbagai negara di dunia.

Maka dari itu, bank sentral berusaha menekan angka inflasi dengan cara menaikkan suku bunga secara bertahap termasuk The Fed dan BI.

Bahkan hingga kini, kebijakan higher for longer tampak masih akan terus dipertahankan dan pemangkasan suku bunga diekspektasikan terjadi di tahun 2024.

Sebagai informasi, suku bunga The Fed saat ini berada di level 5,25-5,5% sementara suku bunga BI saat ini di level 6% atau memiliki selisih sekitar 50 bps.

 

 

CNBC INDONESIA RESEARCH

No Comments

Post a Comment